Kekuatan Ilmu
( Ustadz Hafizh Setiabudi )
Sejak semulanya Islam telah mengajak orang untuk melakukan aktivitas olah pikir yang pada gilirannya menghasilkan ilmu. Ayat pertama Al-Quran langsung berkata, “Bacalah!”
Setiap orang berakal tidak akan salah menangkap kata perintah yang begitu jelas dan tegas. Dan, Allah Sang Pencipta jagat raya menempatkan manusia sebagai makhluk mulia lantaran ilmu.
Berbekal ilmu, manusia menjadi berbeda dengan binatang. Kalau sekadar hidup asal hidup, apa istimewanya manusia dibanding seekor kera? Kalau hidup sekadar untuk makan, ayam pun bisa makan. Kalau hidup sekadar untuk beranak-pinak, kambing pun bisa lakukan itu. Kalau hidup hanya untuk bekerja, kerbau di sawah bekerja lebih kuat ketimbang manusia.
Allah anugerahi manusia dengan hati dan akal sebagai perangkat penjaring ilmu. Itu yang membuat manusia memiliki nilai lebih. Sudah sewajarnya bahwa manusia harus mencari sesuatu yang lebih bermakna dalam hidupnya. Kalau ‘output’ yang dihasilkan manusia sepadan dengan ‘hasil karya’ hewan, saat itu manusia turun harga di bawah hewan. Jadinya, “Mereka seperti hewan ternak. Bahkan lebih parah lagi.”
Manusia tanpa ilmu daya rusaknya jauh lebih ganas dibanding binatang. Segerombolan hama tikus memang mampu melahap padi dua-tiga petak sawah dalam semalam. Tapi satu individu manusia tak bermoral sanggup melumat ribuan nyawa sesama dalam hitungan menit bahkan detik.
Sebegitu besar arti ilmu bagi manusia. Sampai-sampai para nabi pun tidak meninggalkan warisan harta untuk umatnya. Hanya ilmu yang bersisa. Sebab, kata Ali bin Abi Thalib, “Ilmu akan menjagamu. Sementara harta, harus engkau yang repot-repot menjaganya.”
Sejarah melihat, Islam menjadi peradaban besar juga ditopang kuatnya pilar ilmu. Pada zamannya, Mongol boleh saja membuat luluh lantak Baghdad. Tapi mari lihat, perlahan namun pasti, justru Mongol yang akhirnya terserap dan larut tanpa ampun ke dalam pusaran arus peradaban Islam yang dibingkai kokohnya bangunan ilmu.*