Meraih Kemuliaan dengan Berkurban
( Ustadz Hamid Syarifuddin )
Setiap manusia pasti mengharapkan yang namanya kemuliaan. Apapun agama, status dan kedudukannya. Merupakan keniscayaan bahwa semakin mulia seseorang maka akan semakin mendapatkan tempat di lingkungan hidupnya. Beragam cara untuk meraih kemuliaan tersebut, sesuai tingkat pemahaman masing-masing. Sebagian orang menganggap mendapatkan kemuliaan adalah dengan gelimang harta, popularitas, dan jabatan tinggi. Namun bagi seorang muslim yang baik, sangat naif jika hal tersebut sebagai hakekat meraih kemuliaan.
Meraih kemuliaan adalah menjadi bertaqwa dan semakin bertaqwa. Inilah hakekatnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)
Semakin bertaqwa maka semakin mendapatkan hakekat kemuliaan, yaitu mulia di sisi Allah. Dan menjadi sunnatullah bahwa orang yang mulia di sisi-Nya secara otomatis akan mulia di sisi manusia, karena orang yang bertaqwa akan senantiasa menjaga diri dan kehormatannya, berbuat baik kepada sesama, dan selalu hati-hati dalam berucap dan bersikap.
Berbicara masalah taqwa, tentu akan terbesit bagaimana caranya meraihnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, tabi’in, dan para ulama-ulama setelahnya , sudah menjelaskan secara gamblang tentang ini.
Apalagi sebentar lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah, salah satu dari empat bulan Haram, yang di dalamnya penuh dengan kemuliaan. Maka ada sunnah Nabi yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan sebagai tanda taqwa dan mendapat kemuliaannya. Yaitu sunnah menyembelih hewan udhiyah (qurban). Hukumnya sunnah muakkadah karena Nabi menyampaikannya dengan kalimat yang tegas,
“Barangsiapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat salat kami.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah)
Meraih kemuliaan dengan berqurban. Sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Ibunda ‘Aisyah:
“Tidaklah pada hari nahr (Idul Adha) manusia beramal suatu amalan yang lebih dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah dari hewan qurban. Ia akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku, rambut hewan qurban tersebut. Dan sungguh, darah tersebut akan mengambil tempat yang mulia di sisi Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi, maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban.” (HR. Ibnu Majah, no. 3126)
Dan diterima qurban kita di sisi Allah, adalah karena ketaqwaan kita. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ….
“ Daging (hewan qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu….” (QS. Al-Hajj: 37)
Qurban sebagai tanda ketaqwaan, akan mengantarkan kepada kemuliaan. Bukan sekedar tanda dalam makna bahasa, tetapi tanda yang terpancar dari hati yang mengkristal dalam ucapan lisan dan tindakan anggota badan.
Qurban menjadi tanda ketaqwaan karena mencerminkan tiga hal besar:
- Meneladani ketaatan Nabi Ibrahim dalam melaksanakan perintah Allah untuk mengorbankan anaknya Ismail. Inilah peristiwa sejarah yang mendasari disyariatkannya ibadah udhiyah (qurban).
Beliau Nabi Ibrahim ‘alaihissalam karena ketaatan dan ketundukannya kepada Allah mendapatkan gelar kemuliaan di sisi Allah, yaitu khalilullah (kekasih Allah). Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengejawantahkan ketaqwaan yang sesungguhnya, taat tanpa tapi, tunduk tanpa ragu. Maka meneladani beliau merupakan keharusan, untuk mendapatkan hakekat kemuliaan.
- Menunjukkan tanda syukur kepada Allah terhadap nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan.
Hal ini langsung Allah sendiri yang menyampaikan, di dalam surat Al-Kautsar: 1-3,
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ
“Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu, dan berqurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).”
Semakin baik hewan udhiyah (qurban) yang kita persembahkan kepada Allah, maka semakin menyempurnakan wujud syukur kita kepada-Nya.
- Menumbuhkan kasih sayang di antara kaum muslimin, antara yang kaya dan yang miskin. Tidak dipungkiri, status kaya dan miskin terkadang menjadi penghalang dalam upaya mengamalkan tuntutan syari’at, yaitu terbentuknya ukhuwah. Maka Islam dengan kesempurnaannya, memberikan solusi untuk mencegah itu semua, dengan syariat-syariat yang pelaksanaannya mengandung keterjalinan antara yang kaya dan miskin. Di antaranya adalah udhiyah (qurban) di hari Idul Adha dan hari-hari tasyri’. Ini yang akan melahirkan kasih sayang antarak keduanya, yang kemudian mampu mewujudkan ukhuwah.
Mari meraih kemuliaan dengan berqurban.